Kian Santang dan Dinamika Pajajaran; Kontroversi Puzzel Sejarah
BERDASARKAN sumber sejarah lokal
(seperti Babad Cireboni) bahwa Cakrabuana, Syarif Hidayatullah, dan Kian
Santang merupakan tiga tokoh utama penyebar Islam di seluruh tanah Pasundan.
Ketiganya merupakan keturunan Prabu Sliliwangi (Prabu Jaya Dewata atau
Sribaduga Maha Raja) raja terakhir Pajajaran (Gabungan antara Galuh dan Sunda).
Hubungan keluarga ketiga tokoh tersebut sangatlah dekat. Cakrabuana dan Kian
Santang merupakan adik-kakak. Sedangkan, Syarif Hidayatullah merupakan
keponakan dari Cakrabuana dan Kian Santang. Syarif Hidayatullah sendiri
merupakan anak Nyai Ratu Mas Lara Santang, sang adik Cakrabuana dan kakak
perempuan Kian Santang.
Cakrabuana (atau nama lain
Walangsungsang), Lara Santang, dan Kian Santang merupakan anak Prabu Siliwangi
dan hasil perkawinannya dengan Nyai Subang Larang, seorang puteri Ki Gede Tapa,
penguasa Syah Bandar Karawang. Peristiwa pernikahannya terjadi ketika "Prabu
Siliwangi belum menjadi raja Pajajaran"; ia masih bergelar "Prabu
Jaya Dewata atau Manahrasa" dan hanya menjadi raja bawahan di wilayah
Sindangkasih (Majalengka), yaitu salah satu wilayah kekuasaan "Kerajaan
Galuh Surawisesa (Kawali-Ciamis) " yang diperintah oleh "ayahnya
Prabu Dewa Niskala." Sedangkan "Kerajaan Sunda-Surawisesa
(Pakuan/Bogor)" masih dipegang oleh kakak ayahnya (ua: dlm bhs Sunda)
"Prabu Susuk Tunggal".
Sebelum menjadi isteri
(permaisuri) Prabu Siliwangi, "Nyai Subang Larang telah memeluk Islam"
dan menjadi santri (murid) "Syeikh Hasanuddin" atau "Syeikh
Quro". Ia adalah putera "Syeikh Yusuf Siddiq", ulama terkenal di
Negeri Champa (sekarang menjadi bagian dari Vietnam bagian Selatan).
"Syeikh Hasanuddin" datang ke pulau Jawa ("Karawang") bersama
armada ekspedisi "Muhammad Cheng Ho" (Ma Cheng Ho atau Sam Po Kong)
dari "Dinasti Ming" pada tahun 1405 M. Di karawang ia mendirikan
pesantren yang diberi nama "Pondok Quro". Oleh karena itu ia mendapat
gelar ("laqab") -"Syeikh Qura". Ajaran yang dikembangkan
oleh Syeikh Qura adalah ajaran Islam "Madzhab Hanafiah".
Pondok Quro yang didirikan oleh
Syeikh Hasanuddin tersebut merupakan "Lembaga Pendidikan Islam (Pesantren)
Pertama" di tanah "Pasundan". Kemudian setelah itu muncul
"Pondok Pesantren di Amparan Jati" daerah Gunung Jati (Syeikh Nurul
Jati). Setelah Syeikh Nurul Jati meninggal dunia, pondok pesantren Amparan Jati
dipimpin oleh Syeikh Datuk Kahfi atau Syeikh Idhopi, seorang ulama asal Arab
yang mengembangkan ajaran Islam "Madzhab Syafi’iyyah".
Sepeninggal Syeikh Hasanuddin,
penyebaran Islam melalui lembaga pesantren terus dilanjutkan oleh anak
keturunannya, di antaranya adalah "Musanuddin" atau "Lebe Musa
" atau Lebe Usa, cicitnya. Dalam sumber lisan, Musanuddin dikenal dengan
nama "Syeikh Benthong", salah seorang yang termasuk "kelompok
wali di pulau Jawa" (Yuyus Suherman, 1995:13-14).
Kembali kpd Cakrabuana (atau nama
lain Walangsungsang), Lara Santang, dan Kian Santang merupakan putra-putri
Prabu Siliwangi dan hasil perkawinannya dengan Nyai Subang Larang, seorang
puteri Ki Gede Tapa, penguasa Syah Bandar Karawang. Selama berkelana mencari
ilmu pengetahuan Islam, "Walangsungsang" menggunakan nama samaran
yaitu "Ki Samadullah". Mula-mula ia berguru kepada "Syeikh Nurjati"
di Pesisir Laut Utara Cirebon. Setelah itu ia bersama adiknya, "Nyai Mas
Lara Santang" berguru kepada Syeikh Datuk Kahfi (Syeikh Idhopi).
Selain berguru agama Islam,
Walangsungsang bersama "Ki Gedeng Alang Alang" membuka pemukinan baru
bagi orang-orang yang "beragama Islam di daerah pesisir". Pemukiman
baru itu dimulai tanggal 14 Kresna Paksa atau bertepatan dengan tanggal 1
Muharam 849 Hijrah (8 April 1445 M). Kemudian daerah pemukiman baru itu diberi
nama "Cirebon" (Yuyus Suherman, 1995:14). Penamaan ini diambil dari
kata atau bahasa Sunda, dari kata “cai” (air) dan “rebon” (anak udang, udang
kecil, hurang). Memang pada waktu itu salah satu mata pencaharian penduduk
pemukiman baru itu adalah menangkap udang kecil untuk dijadikan bahan terasi.
Sebagai "kepala" (kuwu; Sunda) pemukiman baru itu adalah Ki Gedeng
Alang Alang, sedangkan wakilnya dipegang oleh Walangsungsang dengan gelar
"Pangeran Cakrabuana" atau "Cakrabumi".
Setelah beberapa tahun semenjak
dibuka, pemukian baru itu (pesisir Cirebon) telah menjadi kawasan paling ramai dikunjungi
oleh berbagai suku bangsa. TAHUN 1447 M, jumlah penduduk pesisir Cirebon
berjumlah 348 jiwa, terdiri dari 182 laki-laki dan 164 wanita. Suku Sunda
sebanyak 196 orang, Suku Jawa 106 orang, Suku Andalas 16 orang, Semenanjung 4
orang, India 2 orang, Persia 2 orang, Syam (Damaskus) 3 orang, Arab 11 orang,
dan Cina 6 orang. "Agama yang dianut seluruh Penduduk Pesisir Cirebon ini
adalah Islam".
Untuk kepentingan ibadah dan
pengajaran agama Islam, Pangeran Cakrabuana (Walangsungsang atau Cakrabumi,
atau Ki Samadullah) mendirikan sebuah masjid yang diberi nama "Sang Tajug
Jalagrahan" (Jala artinya air; graha artinya rumah), Mesjid ini merupakan
"Mesjid Pertama" di tatar Sunda dan didirikan di "pesisir laut
Cirebon". Mesjid ini sampai saat ini masih terpelihara dengan nama dialek
Cirebon menjadi "Mesjid Pejalagrahan". Sudah tentu perubahan nama
ini, pada dasarnya berpengaruh pada reduksitas makna historisnya. Setelah
mendirikan pemukiman (padukuhan; Sunda) baru di pesisir Cirebon, Pangeran
Cakrabuana dan Nyai Mas Lara Santang pergi ke tanah suci Mekah untuk menunaikan
rukun Islam yang kelima. Ketika di Mekah, Pangeran Cakrabuana dan Nyai Mas Lara
Santang bertemu dengan "Syarif Abdullah", seorang "Penguasa
(Sulthan) Kota Mesir" pada waktu itu. Syarif Abdullah sendiri, secara
geneologis, merupakan keturunan Nabi Muhammad SAW generasi ke-17.
Dalam pertemuan itu, Syarif
Abdullah merasa tertarik hati atas kecantikan dan keelokan Nyai Mas Lara
Santang. Setelah selesai menunaikan ibadah haji, "Pangeran Cakrabuana
mendapat gelar Haji Abdullah Iman", dan "Nyai Mas Lara Santang
mendapat gelar Hajjah Syarifah Muda’im". Selanjutnya, - Nyai Mas
Larasantang dinikahkan oleh Pangeran Cakrabuana dengan Syarif Abdullah-. Di
Mekah, Pangeran Walangsungsang menjadi -mukimin selama tiga bulan-. Selama tiga
bulan itulah, ia belajar tasawuf kepada "Haji Bayanullah", seorang
ulama yang sudah lama tinggal di Haramain. Selanjutnya ia pergi ke Baghdad
mempelajari Fiqh Madzhab Hanafi, Syafi’i, Hambali, dan Maliki. Masya-Alloh,
ilmunya. :)
Selang beberapa waktu setelah
Pengeran Cakrabuana kembali ke Cirebon, kakeknya dari pihak ibu yang bernama
"Mangkubumi Jumajan Jati" atau Ki Gedeng Tapa meninggal dunia di
"Singapura (Mertasinga - Pesisir Utara Jawa bagian Barat). Yang menjadi
pewaris tahta kakeknya itu adalah Pangeran Cakrabuana. Akan tetapi, Pangeran
Cakrabuana tidak meneruskan tahta kekuasaan kakeknya di Singapura (Mertasinga).
Ia membawa harta warisannya ke pemukiman Pesisir Cirebon. Dengan modal harta
warisan tersebut, pangeran Cakrabuana membangun sebuah Keraton bercorak Islam
di Cirebon Pesisir. Keraton tersebut diberi nama "Keraton
Pakungwati". Dengan berdirinya Keraton Pakungwati berarti berdirilah
sebuah "kerajaan Islam Pertama" di tatar "Sunda Pajajaran".
Kerajaan Islam pertama yang didirikan oleh Pangeran Cakrabuana tersebut diberi
nama "Nagara Agung Pakungwati Cirebon" atau dalam bahasa Cirebon
disebut dengan sebutan "Nagara Gheng Pakungwati Cirebon".
Mendengar berdirinya kerajaan
baru di Cirebon, ayahnya "Sri Baduga Maharaja Jaya Dewata (atau Prabu
Suliwangi) merasa senang". Kemudian ia "Mengutus Tumenggung Jayabaya
untuk melantik (ngistrénan; Sunda) Pangeran Cakrabuana menjadi Raja/Sulthan
Nagara Agung Pakungwati Cirebon" dengan gelar "Abhiseka Sri
Magana". Dari Prabu Siliwangi ia juga menerima "Pratanda atau gelar
Keprabuan (kalungguhan kaprabuan) dan menerima "Anarimakna
Kacawartyan" atau tanda kekuasaan untuk memerintah kerajaan lokal. Di sini
jelaslah bahwa "Prabu Siliwangi merestui Islam". Ia bersikap
"rasika dharmika ring pamekul agami Rasul (adil bijaksana terhadap orang
yang memeluk agama Rasul Muhammad/Islam).
Berdasarkan uraian di atas, maka
dapat diambil suatu "kesimpulan" bahwa yang pertama sukses
menyebarkan agama Islam di tatar Sunda adalah Pangeran Cakrabuana atau
Walangsungsang atau Ki Samadullah atau Haji Abdullah Iman. Ia merupakan Kakak
Nyai Mas Lara Santang dan Kian Santang, dan "ketiganya merupakan anak-anak
dari Prabu Siliwangi". Dengan demikian, ia merupakan kakak ibunya (ua;
Sunda) dari Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati).
Tokoh Kian Santang
SEBAGAIMANA halnya dengan Prabu
Siliwangi, Kian Santang merupakan salah satu tokoh yang dianggap misterius. Akan
tetapi tokoh ini, dalam cerita lisan dan dunia persilatan (kependekaran) di
wilayah Sunda, terutama di daerah Priangan, sangatlah akrab dan legendaris
dengan pikiran-pikiran orang Sunda. Dalam "Tradisi Persilatan",
"Kian Santang" terkenal dengan sebutan "Gagak Lumayung".
Sedangkan nama Kian Santang sendiri sangat terkenal dalam sejarah "Dakwah
Islam" di Tatar Sunda bagian pedalaman.
Sampai saat ini terdapat beberapa
versi mengenai tokoh sejarah yang satu ini. Bahkan tidak jarang ada juga yang
meragukan tentang keberadaan tokoh ini. Alasannya adalah bahwa sumber sejarah
yang akurat faktual dari tokoh ini kurang dapat dibuktikan. Sudah tentu
pendapat semacam ini adalah sangat gegabah dan ceroboh serta terburu-buru dalam
mengambil kesimpulannya. Jika para sejarawan mau jujur dan teliti, banyak
sumber-sumber sejarah yang dapat digunakan bahan penelitian lanjut mengenai
tokoh ini, baik itu berupa sumber sejarah lisan, tulisan, maupun benda-benda
sejarah. Salah satunya adalah "Patilasan Kian Santang di Godog Garut",
atau "Makam Kian Santang" yang berada di daerah "Depok Pakenjeng
Garut". Kalaulah ada hal-hal yang berbau mitos, maka itu adalah merupakan
tugas sejarawan untuk memilahnya, bukannya memberi generalisir yang membabi
buta, seolah-olah dalam seluruh mitologi tidak ada cerita sejarah yang
sebenarnya.
Sampai saat ini terdapat empat
sumber sejarah (lisan dan tulisan) yang menceritakan tentang "sepak
terjang tokoh Kian Santang yang sangat legendaris itu. Keempat sumber itu,
ialah (1) cerita rakyat, (2) sejarah Godog yang diceritakan secara turun
menurun; (3) P. de Roo de la Faille; dan 4) Babad Cirebon karya P.S.
Sulendraningrat. Terdapat beberapa versi cerita rakyat mengenai perjalanan
dakwah Kian Santang, "dikisahkan bahwa Prabu Kian Santang bertanding kekuatan
gaib dengan Sayyidina Ali dan Prabu Kian Santang tidak mampu mencabut tongkat
yang ditancapkan oleh Baginda Ali kecuali sesudah Prabu Kian Santang membaca
"Kalimat Syahadat". (Adakah hubungannya dengan Pangeran Rakhean
Sancang? yg dalam sejarah disebutkan pasukan Sayyidina Ali ra dibantu olehnya,
pen., lih. (….1)
Dari cerita rakyat tersebut
terdapat alur logis yang menunjukkan kebenaran adanya tokoh Kian Santang
sebagai salah seorang penyebar agama Islam di Tanah Pasundan. Misalnya alur
cerita tentang “Haji Lumajang” atau ia pergi ke Campa ketika Kerajaan Pajajaran
runtuh. Atau istilah Pajajaran itu sendiri yang sesuai dengan data arkeologi
dan sumber data yang lainya seperti Babad tanah Cirebon dan lainnya. (Ataukah
nama yg sama dgn orang yg berbeda?) karena masing" py alur dan waktu yg
berbeda pula dan mungkin lebih dari satu, dua atau tiga, pen)
Sejalan dengan cerita rakyat di
atas, P. de Roo de la Faille menyebut bahwa Kian Santang sebagai Pangeran
Lumajang Kudratullah atau Sunan Godog. Ia diidentifikasi sebagai salah seorang
penyebar agama Islam di tanah Pasundan. Kesimpulan ini didasarkan pada
bukti-bukti fisik berupa satu buah al-Qur’an yang ada di balubur Limbangan,
sebuah skin (pisau Arab) yang berada di desa Cinunuk (distrik) Wanaraja Garut,
sebuah tongkat yang berada di Darmaraja, dan satu kandaga (kanaga, peti) yang
berada di "Godog Karangpawitan Garut".
Dalam sejarah Godog, Kian Santang
disebutnya sebagai orang suci dari Cirebon yang pergi ke Preanger (Priangan)
dan dari pantai utara. Ia membawa sejumlah pengikut agama Islam. Adapun yang
menjadi sahabat Kian Santang setelah mereka masuk Islam dan bersama-sama
menyebarkan Islam, menurut P. de Roo de la Faille, berjumlah "11
orang", yaitu 1) Saharepen Nagele, 2) Sembah Dora, 3) Sembu Kuwu Kandang
Sakti (Sapi), 4) Penghulu Gusti, 5) Raden Halipah Kandang Haur, 6) Prabu
Kasiringanwati atau Raden Sinom atau Dalem Lebaksiuh, 7) Saharepen Agung, 8 )
Panengah, 9) Santuwan Suci, 10) Santuwan Suci Maraja, dan 11) Dalem Pangerjaya.
Dari seluruh cerita rakyat
tersebut dapat disimpulkan bahwa "Kian Santang merupakan salah seorang
"Putra Pajajaran", yang berasal dari wilayah Cirebon dan merupakan
"seorang penyebar agama Islam di Pajajaran". Kesimpulan ini dapat
dicocokkan dengan berita yang disampaikan oleh P.S. Sulendraningrat yang
mengatakan bahwa pada abad ke-13, kerajaan Pajajaran membawahi
kerajaan-kerajaan kecil yang masing-masing diperintah oleh seorang raja. Di
antaranya adalah "Kerajaan Sindangkasih (Majalengka)" yang diperintah
oleh "Sri Baduga Maharaja (atau Prabu Jaya Dewata alias Prabu Siliwangi
ke..?). Pada waktu itu Prabu Jaya Dewata menginspeksi daerah-daerah kekuasaannya,
sampailah ia di Pesantren Qura Karawang, yang pada waktu itu dipimpin oleh
Syeikh Hasanuddin (ulama dari Campa) keturunan Cina. Di pesantren inilah ia
bertemu dengan Subang Larang, salah seorang santri Syeikh Qura yang kelak
dipersunting dan menjadi ibu dari "Pangeran Walangsungsang, Ratu Lara
Santang, dan Pangeran Kian Santang". nah adakah dimensi waktu yg berbeda
atau memang misteri ini juga merupakan "sesuatu yg tak terbatas dlm ruang
dan waktu dalam kisah KIan Santang?, (wAllohu-a'lam,pen).
Berdasarkan uraian di atas, maka
jelaslah bahwa Kian Santang merupakan salah seorang penyebar agama Islam di
tanah Pasundan yang diperkirakan mulai menyiarkan dan menyebarkan agama Islam
pada tahun 1445 di daerah pedalaman. Ia adalah anak dari Prabu Sri Baduga
Maharaja alias Prabu Siliwangi, (dan saat itu raja terakhir Pajajaran). Ia
berasal dari wilayah Cirebon (Sindangkasih; Majalengka), ia keluar dari
Istana/kerajaan dan menyebarkan Islam di wilayah Pasundan (Priangan) dan Godog,
op groundgebied. "Limbangan" merupakan "pusat penyebaran agama
Islam pertama di Tatar Sunda (khususnya di wilayah Priangan"). Selain di
Godog pada waktu itu, sebagian kecil di pantai utara sudah ada yang menganut
Islam sebagai hubungan langsung dengan para pedagang Arab dan India.
Mula-mula Kian Santang
mengislamkan raja-raja Lokal, seperti Raja Galuh Pakuwon yang terletak di
Limbangan, bernama "Sunan Pancer (Cipancar)" atau "Prabu
Wijayakusumah" (1525-1575). Raja yang satu ini merupakan putra "Sunan
Hande Limasenjaya" dan cucu dari "Prabu Layangkusumah". - Prabu
Layangkusumah sendiri adalah putra Prabu Siliwangi - . Dengan demikian Sunan
Pancer merupakan "buyut" Prabu Siliwangi. Kian Santang menghadiahkan
kepada Sunan Pancer satu buah al-Qur'an berkukuran besar dan sebuak sekin yang bertuliskan
lafadz al-Qur’an "la ikroha fiddin". "Berkat Sunan Pancer ini
Islam dapat berkembang luas di daerah Galuh Pakuwon", - sisi kerajaan
terakhir Pajajaran- .
Para petinggi dan raja-raja lokal
lainnya yang secara langsung di-Islam-kan oleh Kian Santang di antaranya, ialah
(1) Santowan Suci Mareja (sahabat Kian Santang yang makamnya terletak dekat
makam Kian Santang); 2) Sunan Sirapuji (Raja Panembong, Bayongbong), 3) Sunan
Batuwangi yang sekarang terletak di kecamatan Singajaya (ia dihadiahi tombak
oleh Kian Santang dan sekarang menjadi "Pusaka Sukapura" dan ada di
Tasikmalaya.
Melalui "raja-raja lokal
inilah selanjutnya Islam menyebar ke seluruh tanah Priangan". Kemudian
"setelah itu Islam disebarkan oleh para penyebar Islam generasi
berikutnya, yaitu para sufi seperti Syeikh Jafar Sidiq (Penganut Syatariah) di
Limbangan, Eyang Papak, Syeikh Fatah Rahmatullah (Tanjung Singguru, Samarang,
Garut), Syeikh Abdul Muhyi (penganut Syatariyah; Pamijahan, Tasikmalaya), dan
para menak dan ulama dari Cirebon dan Mataram seperti Pangeran Santri di
Sumedang dan Arif Muhammad di Cangkuang (Garut)".
Tokoh Syarif Hidayatullah
SEPERTI telah diuraikan di atas
bahwa ketika selesai menunaikan ibadah haji, Nyi Mas Larasantang dinikahkan
oleh kakaknya (Walangsungsang) dengan "Syarif Abdullah", seorang
penguasa kota Mesir dari KLAN Al-Ayyubi dari Dinasti Mamluk. Ia adalah putera
dari Nurul Alim atau Ali Burul Alim yang mempunyai dua saudara, yaitu Barkat
Zainal Abidin ("buyut Fadhilah Khan, Faletehan") dan Ibrahim Zainal
Akbar, yaitu ayah dari Ali Rahmatullah atau Raden Rahmat atau "Sunan
Ampel" (Yuyus Suherman, 1995:14). Nurul Alim, Barkat Zainal Abidin, dan
Ibrahim Zainal Akbar merupakan keturunan Rasulullah saw. Nurul Alim menikah
dengan "puteri penguasa Mesir (wali kota), karena itulah Syarif Abdullah
(puteranya) menjadi penguasa (wali kota) Mesir pada masa dinasti Mamluk.
"Hasil pernikahan antara Syarif Abdullah dengan Nyi Mas Larasantang
melahirkan dua putera yaitu, "Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) yang
lahir di Mekkah pada tahun 1448 dan Syarif Nurullah yang lahir di Mesir".
"Syarif Hidayatullah muda
berguru agama kepada beberapa ulama terkenal saat itu. Di antaranya ia berguru
kepada "Syeikh Tajuddin al-Kubri di Mekkah" dan "Syeikh
Athaillah, seorang penganut terekat Sadziliyyah dan pengarang kitab tasawuf,
al-Hikam", masing-masing selama dua tahun. Setelah merasa cukup
pengetahuan agamanya, ia memohon kepada kedua orang tuanya untuk berkunjung
kepada "kakak ibunya (Pangeran Cakrabuana) di Cirebon yang pada waktu itu
menduduki tahta kerajaan Islam Pakungwati".
Selama diperjalanan menuju
kerajaan Islam Pakungwati di Cirebon, Syarif Hidayatullah menyempatkan diri
untuk "singgah" di beberapa tempat yang dilaluinya. Di Gujarat India,
ia singgah selama tiga bulan dan sempat menyebarkan Islam di tempat itu. Di
Gujarat ia mempunyai murid, yaitu "Dipati Keling beserta 98 anak
buahnya". Bersama Dipati Keling dan pengikutnya, ia meneruskan
perjalanannya menuju tanah Jawa. Ia pun sempat singgah di "Samudera Pasai
dan Banten". Di Pasai ia tinggal selama dua tahun untuk menyebarkan Islam
bersama saudaranya "Syeikh Sayyid Ishak". Di Banten ia sempat
berjumpa dengan "Sayyid Rakhmatullah "(Ali Rakhmatullah atau Syeikh
Rahmat, atau "Sunan Ampel") yang sedang giatnya menyebarkan Islam di
sana.
Sesampainya di Cirebon, Syarif
Hidayatullah giat "menyebarkan agama Islam bersama Syeikh Nurjati dan
Pangeran Cakrabuana". Ketika itu, "Pakungwati masih merupakan wilayah
kerajaan Galuh" dengan rajanya adalah "Prabu Jaya Dewata, yang tiada
lain adalah kakek dari Syarif Hidayatullah dan ayah dari Nyi Mas
Larasantang". Oleh karena itu, Prabu Jaya Dewata tidak merasa khawatir
dengan perkembangan Islam di Cirebon. Syarif Hidayatullah bahkan diangkat
menjadi guru agama Islam di Cirebon, dan tidak lama kemudian ia pun diangkat
semacam “kepala” di Cirebon. Syarif Hidayatullah giat mengadakan dakwah dan
menyebarkan Islam ke arah selatan menuju dayeuh (puseur kota) Galuh. Prabu Jaya
Dewata kemudian memindahkan pusat pemerintahannya ke Pakuan Pajajaran yang
terletak di wilayah kerajaan Sunda dengan rajanya Prabu Susuktunggal, yang
masih merupakan paman dari Jaya Dewata. Tetapi karena Pabu Jaya Dewata menikah
dengan Mayang Sunda, puteri Susuk Tunggal, maka perpindahan bobot kerajaan dari
Galuh (Kawali Ciamis) ke Pakuan Pajajaran (Bogor) bahkan mempersatukan kembali
Galuh-Sunda yang pecah pada masa tahta Prabu Dewa Niskala, ayah Prabu Jaya
Dewata. Di Pajajaran, Prabu Jaya Dewata mengganti namanya menjadi Sri Baduga
Maharaja (lihat Didi Suryadi, Babad Limbangan, 1977:46). (…. 2)
Pada tahun 1479, Pangeran
Cakrabuana mengundurkan diri dari tapuk pimpinan kerajaan Pakungwati. Sebagai
penggatinya, maka ditasbihkanlah Syarif Hidayatullah sebagai sultan Cirebon
yang baru. Di bawah pimpinan Syarif Hidayatullah, Pakungwati mengalami puncak
kemajuannya, sehingga atas dukungan dari rakyat Cirebon, Wali Songo, dan
Kerajaan Demak, akhirnya Pakungwati melepaskan diri dari Pajajaran. Berdirinya
Cirebon pada dasarnya merupakan atas jerih payah putera darah biru Pajajaran,
yaitu Pengeran Cakrabuana.
Pada tanggal 13 Desember 1521 M,
Prabu Siliwangi mengundurkan diri dari tahta kerajaan Pajajaran, untuk
selanjutnya menjadi pertapa suci/bertahannuts (?), Dan sebagai penggantinya
adalah Pangeran Surawisesa yang dilantik pada bukan Agustus 1522 M dengan gelar
Sanghyang. Pangeran Surawisesa. (…. 3) inilah yang secara resmi melakukan perjanjian
kerjasama dengan Portugis yang naskah perjanjiannya ditandatangani pada 21
Agustus 1522 M, berisi tentang kerjasama di bidang perdagangan dan pertahanan.
Rintisan kerja sama antara Pajajaran dan Portugis itu telah dirintis sejak
Prabu Jaya Dewata masih berkuasa. Peristiwa tersebut merupakan peristiwa
pertama dalam sejarah diplomatik Nusantara, boleh dikatakan bahwa ia merupakan
seorang raja dari Nusantara yang pertama kali melakukan hubungan diplomatik
dengan orang-orang Eropa.
Perjanjian kerjasama antara
Pajajaran dan Portugis itu telah menimbulkan kekhawatiran bagi kerajaan Demak
dan Cirebon. Karena itulah pada tahun 1526 M, Sultan Trenggono dari Demak
mengutus Fadhilah Khan (Fathailah atau Faletehan) ke Cirebon untuk sama-sama
menguasai Sunda Kelapa yang pada waktu itu masih berada dalam kekuasaan
Pajajaran. Strategi ini diambil agar pihak Portugis tidak dapat menduduki
pelabuhan Sunda Kelapa. Tidak berapa lama pad atahun 1527 M Portugis datang ke
Sunda Kelapa untuk mewujudkan cita-cita mendirikan benteng di Muara Kali
Ciliwung daerah bandar Sunda Kelapa. Namun pasukan Portugis dipukul mundur oleh
pasukan Fadhilah Khan yang waktu itu sudah bergelar Pangeran Jayakarta.
Banyak nama yang dinisbahkan pada
Pengeran terakhir ini, yaitu Pengeran Jayakarta, Fatahilah, Faletehan, Tagaril,
dan Ki Bagus Pase. Penisbahan nama terakhir terhadapnya karena ia berasal dari
Samudera Pasai. Ia merupakan menantu Sultan Trenggono dan Sultan Syarif
Hidayatullah. Hal ini karena Faletehan selain menikah dengan Ratu Pembayun
(Demak), ia juga menikah dengan Ratu Ayu atau Siti Winahon, puteri Syarif
Hidayatullah, janda Pati Unus yang gugur di Malaka (Yuyus Suherman, 1995:17).
Dengan menikahi putri Demak dan Cirebon, maka Faletehan memiliki kedudukan
penting di lingkungan keluarga kedua keraton itu. Karena itulah, ketika Syarif
Hidayatullah meninggal pada 19 September 1568 M, maka Faletehan diangkat
menjadi pengganti Syarif Hidayatullah sebagai Sultan di Cirebon. Peristiwa itu
terjadi ketika Pangeran Muhammad Arifin (Pangeran Pasarean), putra Syarif
Hidayatullah, mengundurkan diri dari tahta kerajaan Islam Cirebon. Muhammad
Arifin sendiri lebih memilih menjadi penyebar Islam di tatar Sunda bagian utara
dan sejak itulah ia lebih dikenal dengan nama Pangeran Pasarean.
Ketika Faletehan naik tahta di
Cirebon ini, saat itu, Jayakarta (Sunda Kelapa) diperintah oleh Ratu Bagus
Angke, putra Muhammad Abdurrahman atau Pangeran Panjunan dari putri Banten.
Namun Faletehan menduduki tahta kerajaan Cirebon dalam waktu yang tidak lama,
yakni hanya berlangsung selama dua tahun, karena ia mangkat pada tahun 1570 M.
Ia dimakamkan satu komplek dengan mertuanya, Syarif Hidayatullah, yakni di
Astana Gunung Jati Cirebon. Ia kemudian digantikan oleh Panembahan Ratu. (... 4)
sdh dulu :) wAllohu-a'lam. nb. (.... angka 1, 2, 3, 4 akan dilengkapi atau ada tulisan tersendiri/bersambung)
Salam Rahayu __/\__
Belum ada tanggapan untuk "Kian Santang dan Dinamika Pajajaran; Kontroversi Puzzel Sejarah"
Posting Komentar
Komenlah sesuai tema, tidak berbau pornografi, promosi serta link aktif, maaf link aktif akan kami hapus